Beranda | Artikel
Ikhlas Dalam Bertaubat
Rabu, 25 September 2013

KEUTAMAAN IKHLAS DALAM BERAMAL(3/5)

14. Ikhlas dalam melaksanakan ibadah haji
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seseorang, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Iman kepada Allah dan Rasul-Nya,’ Beliau ditanya, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah,’ Beliau ditanya, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Haji yang mabrur.’” [Muttafaq ‘alaihi].

Haji mabrur adalah ibadah haji dimana pelakunya tidak melakukan kemaksiatan, ini menunjukkan keikhlasan, karena syirik dan riya’ merupakan perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ  ِللهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِوَلَدَتْهُ أُمُّهُ 

Barangsiapa yang melakukan haji dengan tidak melakukan perbuatan keji (hal-hal yang mengarah pada persetubuhan) dan melakukan kefasikan, maka dia kembali bagaikan seorang anak yang baru lahir dari (rahim) ibunya.”1

15. Ikhlas dalam memohon mati syahid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ اللهَ الْقَتْلَ فِي سَبِيلِهِ صَادِقًا مِنْ قَلْـبِهِ أَعْطَاهُ اللهُ أَجْرَ الشَّهِيدِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ.

Barangsiapa yang memohon kepada Allah terbunuh karena (berjuang) di jalan-Nya dengan tulus dari dalam hatinya, maka Allah akan memberikan pahala orang yang mati syahid kepadanya, walaupun dia mati di atas tempat tidurnya.”2

16. Ikhlas dalam menjaga wilayah perbatasan pada saat perang (jihad)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَابَطَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فِي سَبِيلِ اللهِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَمَنْ مَاتَ مُرَابِطًا أُجْرِيَ لَهُ مِثْلُ ذَلِكَ مِنَ اْلأَجْرِ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ الرِّزْقُ وَأَمِنَ مِنَ الْفَتَّانِ

Barangsiapa yang menjaga wilayah perbatasan (ketika jihad) pada siang dan malam hari di jalan Allah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala puasa sebulan penuh dengan qiyamul lail-nya, dan barangsiapa yang meninggal karena menjaga wilayah perbatasan, maka dia akan diganjar seperti ganjaran tersebut secara terus-menerus dan akan dikaruniai rizki juga aman dari fitnah.”3

17. Ikhlas dalam mempersiapkan perbekalan bagi pejuang (mujahidin)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا

Barangsiapa yang menyiapkan (perbekalan) orang yang berjuang di jalan Allah, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berjuang tanpa dikurangi sedikit pun pahala orang yang berjuang tersebut.”4

18. Ikhlas dalam berjihad
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَاتَـلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ  عَزَّ وَ جَلَّى.

Siapa saja yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah Azza wa Jalla.” [Muttafaq ‘alaihi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي اللهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَكَلْمُهُ يَدْمَى اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ

Tidak ada satu luka pun yang terluka karena berjuang di jalan Allah, kecuali dia akan datang pada hari Kiamat sedangkan lukanya berwarna merah darah dan wanginya bagaikan wangi misk.” [HR. Al-Bukhari].

19. Ikhlas dalam bertaubat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَابَ إِلَى اللهِ قَبْلَ أَنْ يُغَرْغِرَ قَبِلَ اللهُ مِنْهُ

Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah sebelum ruhnya sampai tenggorokan, maka Allah akan menerima taubatnya.”5

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudri Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ، فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ، فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ، وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ -أَيْ حَكَماً- فَقَالَ: قِِيْسُوا مَا  بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَىإِلَى اْلأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ

“Dahulu di antara orang sebelum kalian, ada seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, lalu dia bertanya tentang seseorang yang paling tahu di muka bumi ini, lalu dia ditunjuki kepada seorang rahib (ahli ibadah), dia mendatanginya dengan memberitahukannya bahwa dia telah membunuh sebanyak sembilan puluh sembilan jiwa, ‘Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat?’ Maka rahib pun berkata, ‘Tidak.’ Pada akhirnya orang tersebut membunuh sang rahib sehingga genaplah dia membunuh sebanyak seratus jiwa. Kemudian dia bertanya lagi tentang orang yang paling tahu di muka bumi, lalu dia ditunjuki kepada seorang alim. Dia bertanya kepada orang alim tersebut bahwa dia telah membunuh sebanyak seratus jiwa, ‘Apakah masih ada kesempatan untuk bertaubat baginya?’ Maka seorang alim itu menjawab, ‘Ya, dan siapakah yang telah menghalangimu untuk bertaubat? Maka pergilah ke negeri fulan, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, karena itu beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan janganlah engkau kembali kepada negerimu, karena ia adalah negeri yang jelek.’ Akhirnya orang tersebut pergi sehingga ketika di tengah perjalanan kematian mendatanginya. Malaikat rahmat dan Malaikat adzab saling berdebat (untuk mendapatkannya). Malaikat rahmat berkata, ‘Dia datang dengan menghadapkan hatinya untuk bertaubat kepada Allah’ Sedangkan Malaikat adzab berkata, ‘Dia belum pernah melakukan kebaikan sama sekali.’ Akhirnya datanglah seorang Malaikat lain dengan menjelma menjadi seorang manusia untuk menjadi penengah di antara keduanya. Dia berkata, ‘Ukurlah jarak di antara dua tempat ini, ke arah yang mana dia lebih dekat, maka dia adalah untuknya.’ Mereka mengukurnya dan ternyata lebih dekat kepada negeri yang dia tuju, dan akhirnya Malaikat rahmat mencabutnya.” [Muttafaq ‘alaihi].

[Disalin dari buku “IKHLAS: Syarat Diterimanya Ibadah” terjemahkan dari Kitaabul Ikhlaash oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah. Penerjemah  Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR Bogor]
______
Footnote
1  HR. Al-Bukhari dan yang lainnya.
2  HR. At-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan yang lainnya, hadits ini terdapat di dalam Shahiihul Jaami’ (no. 6153).
3  HR. An-Nasa-i dan al-Hakim di dalam Mustadraknya dari Salman Radhiyallahu anhu, dan hadits ini tertera di dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 6135).
4  HR. Ibnu Majah, hadits ini dishahiihkan oleh guru kami al-Albani dalam kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (II/96).
5  HR. Ahmad di dalam Musnadnya, at-Tirmidzi dan yang lain-nya, terdapat di dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 6008).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3729-ikhlas-dalam-bertaubat.html